Oleh: Hakam Ahmed ElChudrie
Dalam pendidikan anak pascanatal ada beberapa fase penting yang harus diperhatikan sebagai dasar untuk mengarahkan dan memberi pendidikanterhadap anak. Fase – fase tersebut menurut Ramayulis dalam buku “IlmuPendidikan Islam” dibagi menjadi 5 fase. [1]Diantaranya adalah :
1. Fase bayi ( 0 – 2 tahun )
Masa bayi disebut juga masa mulut (oral phrase). Karena bayidapat mencapai pemuasan kebutuhan hidupnya dengan menggunakanmulutnya. Apabila pemuasan kurang terpenuhi anak dapat menjadipengisap jari. Oleh karena itu pendidikan lebih berpusat pada orang tua yang memegang peranan dalam mendidik anak usia ini.
2. Fase kanak – kanak ( 2 – 6 tahun )
Fase ini disebut sebagai masa estetika, masa indera dan masa menentang orang tua.[2] Disebut masa estetika karena pada masa itu merupakan saat terciptnya perasaan keindahan. Anak – anak seusia ini senang dengan segala sesuatu yang indah dan warna – warni. Disebut masa indera karena pada masa ini indera berkembang pesat dan sengan melakukan eksplorasi. Kemudian disebut masa matang karena dipengaruhi oleh menonjolnya perkembangan berbagai aspek fisik, dan psikis di suatu pihak. Disisi lain, belum berfungsinya kontrol akal dan moral. Jadi anak pada masa ini masih bersifat meniru dan banyak bermain. Hasil dari kegiatan tersebut akan memberikan keterampilan dan pengalaman si anak.
3. Fase anak ( 6 – 12 tahun )
Pada fase ini juga EB. Hurlock menyebutnya masa akhir kanak – kanak ( Late Childhood ).[3] Menurut Piaget, sebagaimana dikutip Ratna Wilis Dahar, masa ini disebut dengan masa berpikir operasional konkret dan berakhir dengan berpikir operasional formal.[4] Yang dimaksud dengan operasional konkret adalah anak sudah memiliki operasi – operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah – masalah konkret.
Bila menghadapi suatu pertentangan antara pikiran dan presepsi, anak periode ini sudah mampu memilih pengambilan keputusan logis, bukan keputusan preseptual seperti anak periode sebelumnya. Sedangkan berpikir operasioanl formal adalah anak sudah dapat menggunakan operasi – operasi konkretnya untuk membentuk operasi – operasi yang lebih kompleks. Anak tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda – benda atau peristiwa – peristiwa konkret, karena dia sudah mempunyai kemampuan berpikir abstrak.
Pada masa anak – anak ini perasaan pada Tuhan sudah mengarah pada keadaan yang lebih positif bahkan hubungannya dengan tuhan telah dipenuhi oleh rasa aman dan percaya. Sehingga sering ditemukan pada usia ini bertambah rajin melakukan ibadah mereka semakin senang pergi ke masjid, mengaji, sekolah dan lain sebagainya.[5] Oleh karena itu sejak dini diupayakan terbentuknya kebiasaan – kebiasaan yang baik bagi anak.
Mengenai perkembangan sosial pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan orang dewasa dan teman sebayanya karena dia telah memasuki lembaga pendidikan formal yaitu sekolah SD. Untuk itu orang tua harus mencari guru yang berakhlak baik dan beriman mengingat kemampuan anak untuk membedakan berbagai pengaruh lingkungannya masih sangat terbatas. Selain itu juga, pengaruh pergaulan ini pun sangat besar bagi pertumbuhan perkembangan jiwa keagamaan dan sosial anak.
4. Fase remaja ( 12 – 21 tahun )
Proses terbentuknya pendirian hidup atau pandangan hidup atau cita – cita ini dapat dipandang sebagai penemuan nilai – nilai hidup di dalam eksplorasi si remaja. Menurut Sumardi Suryabrata proses tersebut ada tiga langkah yaitu :
a. Karena tiadanya pedoman, si remaja merindukan sesuatu yang dianggap bernilai, pantas dihargai dan dipuja.
b. Pada taraf ini, obyek pemujaan itu telah menjadi lebih jelas ; yaitu pribadi – pribadi yang dipandangnya mendukung sesuatu nilai ( jadi personifikasi nilai – nilai).
c. Selanjutnya taraf ketiga, si remaja telah dapat menghargai nilai – nilai lepas dari pendukungnya, nilai sebagai hal yang abstrak.[6]
Remaja pada fase ini semakin mampu memahami nilai – nilai yang berlaku dalam kehidupan. Untuk itulah periode ini terjadi sangat baik untuk membantu remaja guna menumbuhkan sikap bertanggungjawab dan memahami nilai – nilai terutama yang bersumber dari agama Islam. Dalam konsep sederhana mereka perlu diperkenalkan tentang konsep agama tentang sikap yang baik, rasa tanggungjawab di dalam kehidupan untuk mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat.
5. Fase dewasa ( 21 + )
Usia dewasa dimulai sejak berakhirnya kegoncangan – kegoncangan kejiwaan pada masa remaja. Dengan demikian, usia dewasa bisa dikatakan masa ketenangan jiwa, ketetapan hati dan keimanan yang tegas. Karena pada umumnya, ketika seseorang telah mencapai usia dewasa, dia sudah mempunyai banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Dalam menghadapi beberapa permasalahan diantara mereka ada yang mampu menyelesaikan dengan sukses dan ada pula yang mengalami kegagalan. Kegagalan yang dialami orang dewasa dianggap sebagai suatu kewajaran. Memang terkadang juga menimbulkan suatu kegoncangan jiwa, namun pada dasarnya pada usia dewasa ini mempunyai kesiapan mental, maka mereka mampu mengendalikan diri. Atas dasar itu, pendidikan yang diberikan pada mereka harus di sesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Hal senada juga dikemukakan oleh Khonstamm yang dikutip oleh Imam Bawani, bahwa tingkat perkembangan kehidupan anak yang dibagi menjadi 5 periode yaitu 0 – 3 ( periode vital atau menyusui ), 3 – 6 tahun (periode estetis atau masa mencoba atau masa bermain ), 6 – 12 tahun ( periode intelektual atau masa sekolah ), 12 – 21 tahun ( periode sosial atau masa adolescense ) dan umur 21 + tahun ( periode dewasa atau kematangan fisik dan psikis seseorang).[7]
Fase pendidikan di atas ternyata berkaitan dengan perkembangan potensi anak sehingga dapat menjamin perkembangan potensi – potensi agar menjadi lancar dan terarah. Dengan demikian menjadi jelas bahwa sejak anak dilahirkan mempunyai sifat ketidakberdayaan, dia sangat memerlukan bantuan dan tuntunan dari orang tuanya. Namun melalui beberapa fase selanjutnya anak mulai bisa mengembangkan potensi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan ketergantungan pada orang tua akan berubah dan semakin menipis.
Selain fase – fase perkembangan anak dalam pendidikan juga dirasa penting juga menguraikan pola pikir anak. Sebagai patokan dalam menjalankan proses pendidikan agar lebih muda dan berjalan efektif. Setelah meneliti tantang pola pikir manusia dari anak dilahirkan sampai masa pubertas, Piaget menyimpulkan bahwa ada 4 tingkatan pola berfikir anak yakni :
1. Fase sensoris – motoris ( 0 – 2 tahun )
Fase sensoris – motori berdasarkan atau pengalaman langsung melalui panca indra, ia melihat sesuatu, merasakan sesuatu, tetapi belum dapat mengategorikan pengalamannya dan responya tergantung situasi.
2. Fase intuitif / Pra operasional ( 2 – 7 tahun )
Pada fase ini anak mulai mengembangkan berbagai tanggapan mental yang terbentuk dalam fase sebelumnya dan adanya kesanggupan menyimpan tanggapan. Pada fase ini juga, anak gemar meniru, anak telah mampu menerima khayalan ( pengertian tidaklogis ).
3. Fase operasi kongkrit ( 7 – 11 tahun )
Pada fase ini anak sudah mulai logis cara berfikirnya, ia mulai mengenal adanya hubungan fungsional, sehingga pada fase ini anak dapat diterapkan dengan aturan – aturan.
4. Fase formal ( 11 – 16 )
Pada fase ini kira – kira jatuh bersamaan dengan mas pubertas. Anak – anak dapat mengembangkan pola berfikir formal sepenuhnya. Mereka mampu memperoleh strategi yang logis, rasional dan abstrak. Mereka dapat menangkap simbolis, arti kiasan dan sebagainya.[8]
Dengan demikian, maka perlu kiranya bagi pendidik atau orang tua mengetahui dan memahami tingkatan – tingkatan perkembangan anak mulai dari fase perkembangan sampai tingkat pola pikir anak sebagai peserta didik sehingga dapat menyediakan pengalaman bagi anak untuk menunjang kognitif yang optimal dan memudahkan proses pendidikan.
[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,... 305 - 322
[2] Mohtar Yahya, Pertumbuhan Akal dan Memanfaatkan Naluri Kanak – Kanak , (Jakarta : Bulan Bintang, 1975 ), 20
[3] Elizabet. B. Hurlock, Perkembangan anak jilid 2 , ( Jakarta: Erlangga, 1999 ), 146
[4] Ratna Wilis Dahar Teori – Teori Belajar ( Jakarta : Erlangga, 1989 ), 154
[5] Ramayulis dan Jalaluddin, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : Kalam Mulia, 1989 ),76
[6] Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004 ), 220
[7] Imam Bawani, Pengantar Psikologi Perkembangan, ( Surabaya : Usaha Nasional, 1989 ), 139
[8] J. Piaget, Science of Education and the Psychologi of the Child ( New York : Viking, 1970 ) / lihat Sunarto dan Agug Hartono, Perkembangan Peserta Didik.., 24 - 25
0 komentar:
Posting Komentar